“Simfoni Cinta Maha Karya Sang
Kuasa ”
( Kisah ini tentang sebuah persahabatan
yang nggak bakalan kandas meskipun begitu banyak rintangan yang menghempas. Ya,
cukup klasik memang. Entah apa yang bisa mendasari persahabatan ini, kalau
melihat ketiadaannya satupun persamaan di antara mereka. Ya, mereka adalah
Dalila, Dini, Dita, dan Rahma. Saat ini, mereka sedang berada di ruang ujian
untuk mengerjakan soal ulangan terakhir, ulangan Fisika. )
Bima :
(menengok ke Rahma) “Ra, no. 31”
Rahma :
(menggeleng) “Belum, Bim.”
Bima :
(menengok ke Aditya) “Adit, no. 31”
Adit :
(menggunakan bahasa isyarat) “E, Bim.”
Dini :
(menengok ke meja Dita) “Sttt... Dit, Dita!”
Dita :
(melihat ke arah Dini) “What happened cuy ?”
Dini :
No. 3, 5, 13. Buruan!! (berbisik sambil menggunakan bahasa isyarat)
Dalila :
“Woi jangan keras-keras. Ntar penjaganya dengar.”
Dini :
“Oke. Dit, buruan !”
Dita :
“A, D. No. 13 aku belum.” (menggunakan bahasa isyarat)
Dini :
“Oke sip.” (menyalin ke lembar jawaban)
( Mereka terus melanjutkan mengerjakan
dengan saling mencontek. Tapi tidak dengan Rahma. Dia terlihat rileks dan
mengerjakan soal ujian dengan percaya diri. )
Dalila :
“Din, Dini! Bagi LJK dong.” (berbisik)
Dini :
“Ampun deh, belum selesai nih.” (menunjukkan LJK)
Bima :
“Woi Din, jangan keras-keras kali.”
Dalila :
“Ra, Rahma! Bagi LJK dong.” (berbisik)
Rahma :
“Maaf Lil. Aku nggak bisa.”
Dalila :
“Pelit amat sih Ra. Aku tuh sahabat kamu nggak sih!” (marah)
Rahma :
“Maaf Lil, bukannya gitu. Aku cuma pengen kamu berusaha.”
Dalila :
“Tapi ini mendesak Ra, please lah.” (memelas)
Dita :
“Udah lah Lil, kamu nggak usah ngemis gitu. Biarin si Rahma urus dirinya
sendiri.”
(kesal)
Adit :
“Eh, jangan berantem disini kali.”
( Ujian Akhir Semester Ganjilpun usai.
Merekapun meninggalkan ruangan, dan segera berkumpul di depan ruangan. )
Dalila :
“Gila... soalnya killer abis.”
Dita :
“Tau tuh. Yang aku pelajari nggak ada yang keluar lagi.”
Dini : (tertawa) “Hahaha... mendingan aku
yang nggak belajar. Jadi, meskipun nggak bisa
ngerjakan
nggak bakalan nyesel.”
( Tiba-tiba Rahma menghampiri mereka )
Rahma :
(tersenyum menyapa temannya) “Hai guys!”
Dini :
(tersenyum) “Hai Ra!”
Dalila :
“Ngapain sih kamu ke sini Ra ?”
Dita :
“Tau tuh, ngerusak suasana tau nggak!”
Dini :
“Udah-udah, kalian itu ngapain sih marahan. Kayak anak kecil tau nggak. Yang
tadi,
ya udah tadi. Nggak usah dibahas lagi.
Lagian maksud Rahma itu baik, guys. Dia
cuma pengen kita berusaha. Ya kan Ra ?”
(menatap Rahma)
Rahma :
“Iya. Maafin aku ya Lil, Dit.”
Dalila :
“Ehmm... gimana ya ? Maafin nggak Dit ?”
Dita :
“Tau deh. Abis ngeselin sih. Tapi... kita maafin dong. Kita kan teman J”
(Merekapun berpelukan)
Dini :
“Oke guys, buat ngerayain selesainya UAS kita, gimana kalau nanti malam hang
out.
Setuju ?”
Dita :
“Setuju”
Dalila :
“Setuju”
Rahma :
“Maaf guys. Nanti malam aku musti belajar Fisika. Soalnya aku takut hari
Seninnya
remidi. Maaf ya...” (memelas)
Dini :
“Nggak boleh. Nanti malam tuh Satnight Ra. Masa kamu mau kencan sama buku sih.”
Dalila :
“Tau tuh. Lagian kamu tuh hampir tiap kita hang out nggak pernah ikut Ra. Masa
kali ini nggak juga sih ?”
Dita :
“Yup, bener. Kalau kamu tetep mau kencan sama buku, kita nggak bakal maafin
kamu!”
Rahma :
“Aaa... jangan dong... ya udah aku ikut deh.”
Dalila :
“Nah, itu baru sahabat kita. Belajar tuh emang penting. Tapi teman lebih
penting.”
(Malampun tiba. Sesuai janji, mereka
berempat berkumpul di cafe langganan mereka.)
Rahma :
“Wah, suasananya damai banget sih. Mana lagunya klasik. Bikin nyaman belajar
aja.
Tau gini tadi aku bawa buku fisika juga
harusnya.”
Dini :
“Aduh Rahma... kamu tuh di tempat kayak gini kok malah mikirin buku sih.
Mestinya
kamu itu
mikir apa yang mesti kita lakuin malam ini.”
Dalila :
“Tau tuh, orang nggak sih kamu itu Ra ?”
Dita :
(tertawa) “Ya ampun Lila, emang kalau nggak orang, apa coba ?”
Rahma :
(murung) “Ih... kalian kok gitu sih. Jahat banget. Ya udah aku ke belakang dulu
ya.
Kerudungku
berantakan nih. Ntar pesenin sama kayak kalian aja ya.”
(Rahmapun berjalan menuju kamar kecil.
Sekembalinya dari kamar kecil, Rahma tertabrak seorang pria.)
Rahma :
“Aduh...”
Ghalib :
“Eh, maaf-maaf.”
Rahma :
“Lain kali hati-hati dong mas.” (meraba-raba lantai)
Ghalib :
“Iya, maafkan saya mbak. Ngomong-ngomong sedang cari apa mbak ?”
Rahma :
“Jarum saya jatuh.”
Ghalib :
“Oh... biarkan saja lah mbak. Lagian kerudung mbak sudah cantik kok.”
Rahma :
“Nggak bisa mas. Jarum itu buat mengaitkan kerudung bagian depan saya kalau
terkena angin biar nggak membuka.”
Ghalib :
“Oh... boleh saya bantu mbak ?”
Rahma :
“Tidak usah mas. Terima Kasih.”
Ghalib :
“Ya sudah saya permisi dulu mbak.”
Rahma :
“Iya, silahkan.”
(Ghalibpun pergi meninggalkan Rahma.
Beberapa saat kemudian, Rahmapun menemukan jarumnya. Dia bergegas kembali ke
teman-temannya.)
Dita :
“Ya ampun Ra, lama banget sih kamu.”
Dalila :
“Tau tuh. Benerin kerudung apa poop sih. Lama banget.”
Rahma :
“Tadi tuh jarum aku jatuh guys.”
Dini :
“Oh... tapi udah ketemu kan ?”
Rahma :
“Nih, udah.” (menunjukkan jarum di kerudungnya)
Dini :
“Eh, tau nggak Ra. Kita tadi lihat Gunawan disana tuh.” (menunjuk)
Dalila :
“Iya Ra. Abis itu kita foto dia pakai hp-nya Dita. Eh, ternyata flashnya nyala
lagi. Jadi
ketahuan deh. Gara-gara hp-nya Dita nih.”
Dita :
“Eh, kalian kok malah nyalahin hp aku sih ? Masih mending aku pinjami”
Rahma :
“Udah-udah, lagian kalian ngapain sih pake foto-foto segala.”
Dalila :
“Kan kita pikir kamu seneng.”
Dini :
“Iya Ra. Secara dia kan first love kamu.
Siapa tau kamu masih ngarep sama dia.”
Dita :
“Tapi, saran aku sih jangan ya Ra. Nggak usah deh kamu ngarep sama cowok kayak
Gunawan. Nggak gentle banget mutusin tanpa
sebab lewat bbm tanpa 1 alasanpun.”
Rahma :
“Udahlah guys... itu kan udah lama banget, 5 tahun lalu. Lagian aku sekarang
udah
lupa kok sama dia.”
Dini :
“Aaa... masa sih ?”
Dalila :
“Seriusan ?”
Dita :
“Demi apa ?”
(Merekapun bergurau sambil menikmati
malam mereka. Hari Seninpun tiba. Selesai upacara, mereka berkumpul di kelas
sambil bergosip ria. Tiba-tiba wali kelas mereka datang.)
Wali Kelas : “Assalamu`alaikum. Selamat pagi, anak-anak.”
Siswa :
“Wa`alaikumsalam. Selamat pagi, Pak.”
Wali Kelas : “Hari ini kita kedatangan murid baru. Namanya Gunawan. Ayo
le, silahkan
perkenalkan diri kamu.”
Gunawan :
“Baik, terima kasih, Pak. Perkenalkan nama saya Gunawan. Saya pindahan
dari SMA 5 Surabaya. Saya harap kerja
samanya dari teman-teman semua.
Saya rasa cukup. Terima Kasih.”
Wali Kelas : “Baik Gunawan, kamu boleh duduk di... (mencari tempat
kosong) belakang
sana.”
Gunawan :
“Baik, terima kasih, Pak.”
Wali Kelas : “Baik anak-anak. Saya mohon kerja samanya. Saya tidak
ingin mendengar
laporan guru BK kalau kalian membully anak
baru seperti kelas sebelah.
Kalau sampai saya mendengar, kalian akan
saya jemur di bawah tiang bendera
dan nilai PKN kalian saya buat nol. Paham ?”
Siswa :
“Paham, Pak.”
Wali Kelas : “Bagus. Ya sudah saya permisi. Assalamu`alaikum.”
Siswa :
“Wa`alaikumsalam.”
(Dalila, Dini, dan Ditapun menghampiri
Rahma)
Dini :
“Ra, itu bukannya your prince ?”
Dita :
“Kok bisa ?”
Dalila :
“Kalian contact lagi ya ?”
Rahma :
“Ya ampun, nggak lah guys. Ngapain juga ?”
( Tiba-tiba Gunawan menghampiri Rahma )
Gunawan :
“Hai Ra. Apa kabar ?”
Rahma :
(canggung) “Hai, Gun. Alhamdulillah.”
Gunawan :
“Kamu masih tetep ya ?”
Rahma :
“Maksudnya ?”
Gunawan :
“Ya, tetep aja.”
Rahma :
“Apaan sih.”
Dini :
“Ehm.. ehm... cabut yuk guys, ngganggu nih.”
Dalila :
“Yuk, daripada disini jadi obat nyamuk.”
( Dalila, Dini, dan Ditapun meninggalkan
Rahma dan Gunawan menuju kantin. Sedangkan Rahma dan Gunawan melanjutkan
obrolan mereka )
Dita :
“Uh ... kalian ngapain sih pakek acara cabut segala.”
Dalila :
“Loh, emang kenapa ? Kita bener, kan ? Ya nggak, Din ?” (menoleh ke Dini)
Dini :
“Yupsi. Lagian kamu mau ngapain sih Dit disana ? Mau jadi obat nyamuk ?”
Dita :
“Bukannya gitu. Aku kan cuma penasaran gimana ekspresi Rahma. Aku pengen tau,
dia itu sebenarnya masih suka nggak sama
Gunawan.”
Dalila :
“Aduh, ya jelas masih lah Dit. Nggak usah dilihat dari ekspresi udah kelihatan
kalau
Rahma itu masih suka sama Gunawan.”
Dini :
“Udah-udah, ngapain sih ngomongin mereka. Mereka aja belum tentu ngomongin
kita. Mending makan ini aja. Yuk.”
( Seusai makan, mereka kembali ke kelas
untuk megikuti KBM seperti biasa. Sepulang sekolah, Rahma mengajak mereka ke
toko buku untuk membeli referensi buku Bahasa Indonesia. Namun, sahabatnya
menolak. Akhirmya, Rahma terpaksa pergi sendirian. Sesampainya di toko buku ...
)
Rahma :
(berjalan sambil melihat-lihat buku) “Aduh, jahat banget sih mereka. Katanya
sahabat,
tapi kok gini ? Bikin bete. Mana bukunya nggak
ketemu-ketemu lagi. Aduh...”
(tertabrak seorang pria)
Ghalib :
“Eh, maaf-maaf mbak. Saya tidak sengaja.”
Rahma :
“Ya ampun, hati-hati dong mas. (berdiri) Astaga! Kamu lagi-kamu lagi. Memang
hobi
nabrak ya, mas ?”
Ghalib :
“Ya ampun, maaf mbak.”
Rahma :
“Iya, nggak papa.”
Ghalib :
“Sendiri mbak ?”
Rahma :
“Iya, menurut mas ?”
Ghalib :
“Aduh, jangan mas-mbak lah, kok ngerasa canggung gitu. Oh ya, kenalkan nama
saya
Ghalib.” (menjabat tangan Rahma)
Rahma :
(menjabat tangan Ghalib) “Rahma.”
( Dari sesi perkenalan itu, membuat
hubungan mereka bertambah dekat. Keesokan harinya di sekolah... )
Dita :
“Pagi, Gun.”
Gunawan :
“Pagi, Dit.”
Dita :
“Eh, denger-denger katanya kamu pintar MTK ya ? Boleh dong diajari ?”
Gunawan :
“Ah, biasa saja. Aku sih oke-oke aja kalau emang aku bisa.”
Dita :
“Beneran nih ? Masa anak pindahan SMA 5 Surabaya nggak bisa.”
Gunawan :
“Aduh, beneran Dit. Bisa aja kan aku nyogok biar bisa sekolah sana.”
Dita :
“Ah, nggak percaya. Kata Rahma aja, kamu itu asli pandai sedari kalian masih
bareng-
bareng dulu.”
Gunawan :
“Enggak kok, Rahmanya aja yang terlalu melebih-lebihkan.”
( Obrolan merekapun terhenti ketika Dalila,
Dini, dan Rahma datang. Berkat obrolan itu, Gunawan dan Dita sering bertemu
untuk sekedar belajar bersama. Bel tanda pulangpun berbunyi. )
Rahma :
(buru-buru memasukkan bukunya) “Hai, guys. Duluan ya ?”
Dini :
“Eh... eh... eh, Ra.”
Dalila :
(mendekati Dini) “Kenapa tuh si Rahma ?”
Dini :
(mengendikkan bahu) “Tau... perasaan kayak ada yang aneh deh. Coba kamu buntuti
sana, Lil.”
Dalila :
“Iya deh, yaudah duluan ya, guys.”
Dita :
(mendekati Dini) “Kenapa sih Lila sama Rahma ?”
Dini :
“Belum tau. Tapi, kayaknya ada yang aneh.”
Dita :
“Eh, ya udah aku duluan juga ya, Din. Bye”
Dini :
“Eh.. eh.. Dit ... Ya ampun Dita tega banget sih.”
( Sesampainya Rahma di tempat tujuan )
Rahma :
“Aduh, maaf ya Lhib. Aku telat.”
Ghalib :
“Nggak papa Ra. Baru 5 menit kali.”
( Tanpa mereka sadari, ternyata Dalila
melihat dari Jauh. )
Dalila :
“Astaga, Ghalib!”
( Dalilapun bergegas pulang. Keesokan
harinya ... )
Gunawan :
“Selamat pagi, teman-teman. Jadi gini, nanti malam aku mau undang kalian semua
buat datang ke acara syukuran cafe baru keluargaku.
Kebetulan, hari ini sudah
mulai dibuka. Jadi, aku harap kalian mau meluangkan
waktu buat datang.”
Dini :
“Santai aja, Gun. Kita semua pasti datang kok. Apalagi kalau ada makannya, aduh
tambah semangat kita. Ya, kan Lil ?”
Dalila :
(mengendikkan bahu) “Tau.”
Gunawan :
“Kalau soal makanan sih, gampang. Bisa diatur. Dibungkus dibawa pulang juga
boleh
kok.” (kembali ke bangku)
Dita :
“Kalau kamunya boleh dibungkus dibawa pulang nggak Gun ?” (tertawa)
Dini :
“Hu... dasar Dita.” (bersorak ke Dita)
Dita :
“Hehehe ... becanda Gun. Aku bukan tipe tukang tikung temen kok J”(menoleh
ke
Rahma)
Rahma :
“Apaan sih, Dit ?”
Gunawan :
“Santai aja, Dit. Ya udah guys, aku tunggu kedatangan kalian nanti malam ya.
Oh, ya
Rahma, kamu jangan sampai nggak datang ya.”
(tersenyum ke arah Rahma)
DDD :
“Cieee...” (bersorak)
( Bel tanda masukpun berbunyi. KBM pun
berjalan seperti biasanya. Hingga malam waktu undanganpun tiba... )
Dita :
“Ya ampun, Rahma. Kamu cantik banget sih...”
Rahma :
“Apaan sih, Dit.”
Dini :
“Eh, beneran lho. Kayak serasa aura inner-beauty dalam diri kamu itu keluar
semua.”
Rahma :
“Aaa.. lebay deh kalian.”
Dini :
“Nggak, beneran deh. Ya kan Lil ?”
Dalila :
(mengendikkan bahu) “Tau.”
Dini :
“Kamu kenapa sih, Lil ? Dari tadi kalau ditanya jawabnya tau-tau mulu.”
Dalila :
“Tau, tanya Rahma aja sana.”
Rahma :
(kaget) “Ha? Kok aku ? Aku kan nggak tau apa-apa.”
Dalila :
“Tau! Pikir aja sendiri.”
( Tiba-tiba Ghalibpun datang )
Ghalib :
“Hai, Ra J”
Rahma :
“Hai, Lhib. Eh kenalin ini temen-temen aku.”
Ghalib :
(berjabat tangan) “Ghalib”
Dita :
(menjabat tangan Ghalib) “Dita”
Ghalib :
(berjabat tangan) “Ghalib”
Dini :
(menjabat tangan Ghalib) “Dini”
Ghalib :
(berjabat tangan) “Ghalib. Lila ? Apa kabar ? Ya ampun, hampir seminggu aku
nyari
alamat kamu tapi nggak ketemu-ketemu. Kamu
pindah ya ?”
Dalila :
(tersenyum) “Kalau nanya satu-satu kali, Lhib. Pertama, alhamdulillah kabar aku
baik.
Kedua, aku sekarang udah pindah di Perum
Mahogani no. 12 Genteng.”
Ghalib :
(tersenyum) “Ya ampun, pantesan.”
Rahma :
“Eh, kalian udah saling kenal ya ?”
Ghalib :
“Iya, Ra. Dalila itu sahabat aku sedari kecil. Kita tetanggaan dulu. Tapi,
berhubung
dulu waktu SMP aku pindah ke Bogor, jadi
kita lost contact”
Rahma :
“Oh... gitu.”
Dini :
“Eh, ya udah kita duduk yuk, guys. Pegel nih kakiku.”
Dita :
“Yuk... disana tuh, deket jendela.” (menunjuk)
Rahma :
“Eh, Ghalib mau gabung sama kita ?”
Ghalib :
“Boleh, kalau kalian nggak keberatan.”
Dini :
“Nggak papa kali, Lhib. Kamu kan temennya Dalila sama Rahma. Berarti temen kita
juga dong.”
Dita :
“Yup, tul. Lagian sayang banget kan ada cogan kok dianggurin gini. He he he
...”
Dini :
“Aduh, Dita mulai deh.”
Rahma :
“Yaudah, yuk guys.”
(Sesampainya di meja, beberapa saat kemudian,
Gunawan menghampiri mereka.)
Gunawan :
“Hai, guys. Boleh gabung nggak ?”
Dalila :
“Oh, boleh kok, Gun. Silahkan-silahkan.” (menarikkan kursi untuk Gunawan)
Gunawan :
“Thanks, Lil.” (duduk)
Dini :
(berbisik) “Ngapain sih si Dalila Dit ?”
Dita :
(berbisik) “Tau, tuh. Sok manis banget tau nggak. Nggak kayak biasanya.”
Dini :
“Ehm... Lil, nggak mau ngenalin Ghalib ke Gunawan ?”
Dalila :
“Nggak ah, biar si Rahma aja. Kan Ghalib datang kesini mungkin janjian sama
Rahma”
Dita :
“Dalila bicara apaan sih, aneh, ngelantur.”
Dini :
“Ya udah, kamu gih Ra.”
Rahma :
“Kok aku ? Ya Dalila lah, kan Gunawan itu prince
charming-nya Dalila.”
Dita :
“Aduh, ini lagi.”
Dini :
“Ehm, ya udah. Biar aku aja. Gunawan, kenalin ini Ghalib. Ghalib, ini Gunawan.”
Gunawan :
“Gunawan” (menjabat tangan Ghalib)
Ghalib :
“Ghalib” (menjabat tangan Gunawan)
Dini :
“Bereskan ? Gitu aja kok repot.”
Gunawan :
“Ehm, Ghalib sahabatnya Rahma dkk juga ?”
Ghalib :
“Eh, nggak kok. Kita baru kenal. Kebetulan aku kenal sama Rahma. Eh, ternyata
Rahma sahabatnya Dalila, yang notabenenya
sahabat aku dari kecil.”
Gunawan :
“Oh, kenalannya Rahma. Wah, kebetulan banget ya...”
Ghalib :
“Emm.. mungkin takdir.”
Gunawan :
“Ehm... jadi gini guys aku minta restu sama kalian buat njalin hubungan sama salah
salah satu sahabat kalian. Aku tertarik
sama dia. Sejak pertama kali aku bicara sama
dia, aku ngerasa nyaman. Dari tatapan
matanya, dari perilakunya, dari tutur
katanya, aku ngerasa banget dihargai
sebagai seorang cowok sama dia.”
Dini :
“Ah... udahlah, Gun. Nggak usah bertele-tele. Bilang aja kalau kamu masih suka
sama Rahma. Iya kan ?”
Gunawan :
“Eh, tapi...”
Dita :
“Tau nih, Gunawan. Secara ya, di antara kita kan yang paling lemah lembut itu
Rahma.”
Gunawan :
“Bukan, Dit. Salah. Cewek yang aku maksud itu kamu. Semenjak aku deket sama
kamu, aku itu ngerasa nyaman. Apalagi
sewaktu kita sering belajar bareng.”
Dalila :
“Wah... selamat ya, Dit. Aku doain semoga langgeng. Mangkanya, jangan nikung
temen kalau nggak mau ditikung.” (melirik
Rahma)
Rahma :
(sedih, menatap Gunawan)“Terus maksud kamu nyuruh aku harus datang kesini itu
karena ini ? Minta restu ? Selamat, kalian
aku restui. Semoga langgeng. Aku permisi.”
(undur diri)
Ghalib :
“Rahma, tunggu. Aku juga mau bicara sama kamu.”
Rahma :
“Nanti aja, Lhib. Aku lagi gak mood.”
Ghalib :
“Bentar aja, please. Siapa tau ucapanku bakalan ngubah mood kamu.”
Rahma :
“Oke, mau ngomong apa ?”
Ghalib :
“Duduk dulu, Ra” (menarikkan kursi untuk Rahma)
Rahma :
“Iyaya, buruan.” (duduk)
Ghalib :
(tarik nafas) “Jadi gini, aku juga mau minta restu sama kalian, guys. Aku suka
sama
Rahma. Berkat Rahmalah aku sadar kalau
belajar itu penting. Berkat Rahma pula,
aku bisa berubah menjadi jauh lebih baik
lagi. Awal pertemuanku dengan Rahma,
aku sudah tertarik dengan Rahma. Dan aku
berjanji, jika aku bertemu Rahma kembali
berarti Rahma memang ditakdirkan untuk
bersamaku. Dan ternyata, kami bertemu
lagi di toko buku. Adanya pertemuan itu,
semakin meyakinkan aku akan perasaanku.
Sehingga, saat ini aku memberanikan diri
untuk mengungkapkannya.”
Dalila :
“Kamu beneran tega, Ra!” (marah)
Rahma :
“Maafin aku, Lhib. Aku nggak bisa. Lil, aku cuma nganggap Ghalib itu sahabat
kayak
kalian. Nggak lebih.”
Dalila :
“Tapi, aku benci sama kamu, Ra. Kamu sembunyi-sembunyi dari kita buat ketemu
Ghalib. Pakek alasan inilah, itulah. Kamu
pikir aku nggak tau ? Kamu nggak usah
munafik deh Ra, kalau kamu emang suka sama
Ghalib.”
Rahma :
“Aku nggak bohong, Lil. Aku beneran cuma nganggep sahabat. Please, percaya aku
Lil. Aku juga sakit. Barusan aku juga
ngerasain apa yang saat ini kamu rasa. Seorang
sahabat yang nikung sahabatnya dari
belakang.” (melihat Dita)
Dita :
“Aku nggak nikung kamu, Ra. Aku nggak ada apa-apa sama Gunawan.”
Rahma :
“Udahlah Dit. Nggak usah beralibi. Nggak mempan tau.”
Dini :
“Stop, guys. Kalian ini nggak boleh bertengkar gegara 2 cowok. Oke, jadi bakal
gue
jelasin satu-satu. Pertama, Gunawan.
Gunawan, kamu itu harusnya peka kalau Rahma
masih nyimpan rasa buat kamu. Bukannya malah
kamu nyatain perasaan buat cewek
di depan Rahma. Sama sahabatnya lagi. Kedua,
Rahma. Rahma, Dita itu beneran
nggak suka sama Gunawan. Kamu tau sendiri
kan kalau Dita itu lagi suka dan deket
sama kakel kita.”
Rahma :
“Tapi, Din..”
Dini :
“Stop, jangan dipotong dulu. Ketiga, Ghalib. Ghalib, kamu udah tau sendiri kan
kalau
Rahma itu suka sama Gunawan dan Dalila suka
sama kamu. Jadi, tolong pikirkan
lagi
ucapan kamu. Sekarang jelas kan ? Please, guys. Pikir matang-matang. Aku
nggak mau kalau sahabatan kita ancur cuma
gegara 2 cowok ini.”
Gunawan :
“Maafin aku Ra, yang nggak peka sama perasaan kamu. Maafin aku juga, guys yang
hampir ngerusak persahabatan kalian. ”
Ghalib :
“Maafin aku juga ya, Lil. Aku terlalu buta untuk melihat segala perhatianmu
terhadapku.”
Dini :
“Oke... jadi sekarang kita baikan. Sahabat.”
Dita :
“Sahabat”
Rahma :
“Sahabat”
Dalila :
“Sahabat”
Ghalib :
“Sahabat”
Gunawan :
“Sahabat”
Semua :
“Ye....” (bersorak gembira)
( Itulah akhir dari kisah ini. Mereka saling
berjanji untuk menjaga persahabatan mereka agar tetap terjalin sampai maut
memisahkan. Karena bagi mereka, sahabat adalah segalanya. Dan cinta sahabat adalah
cinta yang sesungguhnya. )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar